JENIS - JENIS ASPAL
Aspal minyak
Aspal minyak adalah bahan tersisa yang dianggap sudah sudah tidak lagi bisa diproses secara ekonomi dari proses destilasi minyak bumi di pabrik kilang minyak. Bahan tersebut kita kenal dalam tiga kelas Penetrasi yaitu Pen 40/50, Pen 80/70 dan Pen 80/100. Semakin rendah angka penetrasi maka akan semakin keras wujud aspal, semakin susah cara penanganannya karena diperlukan suhu lebih tinggi agar aspal menjadi lunak atau cair. Sebaliknya semakin tinggi angka penetrasi maka aspal akan mudah encer, mudah dikerjakan, tetapi terancam sulit untuk mencapai kestabilan campuran aspal, terutama pada iklim panas seperti di Indonesia, karena aspal cenderung melunak pada suhu udara tinggi.
Pengerjaan aspal umumnya memerlukan pemanasan pada suhu sekitar 1100 – 1700C supaya aspal menjadi encer sehingga mudah untuk dipompa, dipindahkan dan dicampur dengan agregat ataupun dipadatkan. Kalau aspal dipanaskan berkali-kali dan dalam waktu lama, maka banyak minyak aromatik yang menguap sehingga aspal mengeras, artinya angka penetrasinya menurun. Aspal dengan penetrasi rendah akan gampang kena oksidasi sehingga menjadi getas, kehilangan daya lengketnya, akibatnya lapis aspal akan terburai atau lepas butir. Karena itu di Indonesia ditetapkan bahwa angka terendah untuk penetrasi bahan aspal adalah 50 (Spesifikasi Bina Marga sejak tahun 2003). Aspal yang diolah menjadi campuran beraspal akan mengalami oksidasi akibat sinar matahari dan mencapai penetrasi 25, yaitu batas terendah penetrasi sebelum terburai.
Pada wilayah yang belum berkembang, jalan masih sepi lalu lintas, panjang jalan masih sedikit, beban sumbu kendaraan belum berat, kita mengenal cara pelaksanaan pekerjaan lapis perkerasan dengan Metoda Surface Dressing (Burtu/Burda) dan Metoda Penetrasi Macadam. Aspal dengan angka penetrasi rendah (pen 40/50) sangat sesuai dengan metode ini dan pekerjaannya dilaksanakan secara padat karya, dimana aspal dipasok dengan drum-drum yang berfungsi sekaligus sebagai “storage tank”. Pemanasan cukup memakai kayu bakar dipinggir jalan, dan ketika aspal panas tersebut dikucurkan ke permukaan lapis batuan yang telah dipadatkan setengah jadi (lapisan masih berongga besar), maka aspal 40/50 (penetrasi rendah, aspal keras) akan cepat mengering, cepat dingin dan mengental. Aspal tidak akan “drain off” (mengalir kebawah). Sangat sesuai, karena aspal tersebut diperlukannya diatas permukaan, untuk menutup rongga agar tidak tembus air.
Sebaliknya untuk membuat Beton aspal sebisa mungkin menggunakan aspal dengan penetrasi tinggi (aspal lunak) karena proses pencampuran dan pengangkutan memerlukan waktu lama, yang menyebabkan menguapnya minyak-minyak alami dan mengakibatkan aspal kering dan kehilangan daya lengketnya. Hot Rolled Sheet (HRS) pada tahun 80-an pernah menggunakan aspal pen 80/100, menggunakan gradasi senjang untuk membentuk rongga antar butir (void) yang lebih besar, banyak butir kecil sehingga membantu menahan aspal pada matrixnya, karena itu kadar aspal dalam campuran HRS biasanya >7% (beton aspal jenis lain umumnya berkisar hanya 5,3 – 5,8%). Peningkatan kadar aspal pada HRS agar lapis perkerasan tidak mudah retak (karena lebih lentur), permukaan lebih kedap, tidak mudah retak, tidak mudah berlubang. Kelemahannya adalah terlalu lunak dan lentur sehingga mudah bergelombang. Bila dalam kecepatan tinggi, mobil akan bergetar dan mudah lepas kendali. Dengan pengalaman tersebut diatas, maka dipilihlah aspal minyak dengan angka penetrasi 60/70 sebagai bahan perkerasan beraspal.
Di negara lain selain kelas Penetrasi dikenal juga kelas Viskositas, di Australia dikenal AC-2,5, AC-5 dst. Ada juga kelas Performance Grade, misalnya yang dikaitkan dengan ketahanannya terhadap suhu, PG 64-10, PG 70-20 dst.